Pages

Friday 20 July 2012

Melalui Seni Rupa, Ingrid Mattson Mengenal Islam

Ingrid Mattsonkisahmuallaf.com – Nama Ingrid Mattson sempat menjadi topik pembicaraan hangat di berbagai media Barat ketika namanya masuk dalam daftar salah satu tokoh yang diundang pada inaugurasi Barack Obama setelah kandidat PresidenAmerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat itu menang dalam pemilu.

Mattson yang menjabat Presiden Komunitas Islam Amerika Utara (ISNA) merupakan salah satu pemimpin agama yang akan berbicara pada acara doa yang digelar di Cathedral Nasional di Washington DC, sehari setelah pelantikan Obama sebagai presiden AS ke-44.

Undangan yang ditujukan kepada Mattson ini menuai kontroversi publik Amerika. Sebab, yang bersangkutan dicurigai jaksa federal terkait dengan jaringan teroris.

Seperti diketahui, pada Juli 2007, jaksa federal di Dallas, mengajukan tuntutan kepada ISNA karena diduga memiliki jaringan dengan Hamas organisasi Islam di Palestina yang dikelompokkan Pemerintah AS sebagai organisasi teroris.

Namun, baik Mattson maupun organisasinya tidak pernah dihukum. Jaksa hanya menyatakan memiliki bukti-bukti dan kesaksian yang dapat menghubungkan kelompok tersebut ke Hamas dan jaringan radikal lainnya.

Sebelumnya, Muslimah kelahiran Kanada tahun 1963 ini juga pernah membuat kejutan dengan melakukan pertemuan dengan pejabat tinggi Pentagon selama pemerintahan Bush. Dia juga hadir pada misa Konvensi Nasional Partai Demokrat di Denver saat Obama mencalonkan diri sebagai presiden.

Ingrid MattsonPemerintah AS dan ISNA sebenarnya memiliki hubungan kerjasama yang baik. Kelompok tersebut memberikan latihan agama kepada Biro Penyelidik Federal (FBI). Karen Hughes, orang kepercayaan Bush, mengatakan bahwa Mattson sebagai pemimpin yang hebat dan panutan bagi banyak orang. Mattson adalah seorang profesor studi Islam di Hartford Seminary di Hartford, Connecticut.

Ia memperoleh gelar sarjana dalam bidang filsafat dari Universitas Waterloo, Ontario, pada 1987. Sementara gelar PhD pada studi Islam ia peroleh dari Universitas Chicago pada 1999. Penelitiannya mengenai Hukum Islam dan Masyarakat. Selama kuliah di Chicago, ia banyak terlibat pada kegiatan komunitas Muslim lokal.

Ia duduk dalam jajaran Direktur Universal School di Bridgeview dan anggota komite Interfaith Committee of the Council of Islamic Organizations of Greater Chicago. Mattson juga pernah menetap di Pakistan dan bekerja sebagai pekerja sosial bagi pengungsi wanita Afghanistan selama kurun waktu 1987-1988.

Pada 1995, ia ditunjuk sebagai penasihat bagi delegasi Afghanistan untuk PBB bagi Komisi yang membidangi Status Perempuan.

Saat bekerja di kamp pengungsi di Pakistan inilah ia bertemu dengan pria yang kini menjadi suaminya, Amer Aetak, seorang insinyur dari Mesir.

Dari pernikahan mereka, pasangan ini dikaruniai seorang anak perempuan bernama Soumayya dan satu orang anak laki-laki bernama Ubayda.

Meski saat ini banyak berkecimpung dalam kegiatan keagamaan ISNA, sebuah organisasi berbasiskan komunitas Muslim terbesar di AS, namun Mattson kecil tumbuh dan besar dalam lingkungan Kristen di Kitchener, Ontario, Kanada. Ayahnya adalah seorang pengacara, sementara ibunya bekerja di rumah membesarkan ketujuh anaknya.

Mattson berhenti pergi ke gereja pada usia 16 tahun dengan alasan tidak bisa lagi percaya dengan apa yang diajarkan oleh gereja. Saat menimba ilmu di Universitas Waterloo, ia mempelajari seni dan filsafat, yang dinilainya menekankan kebebasan seseorang untuk memilih.

”Setahun sebelum saya masuk Islam, saya banyak menghabiskan waktu untuk mencari dan melihat hal-hal yang berhubungan dengan seni. Saat mengikuti pendidikan bidang filsafat dan seni rupa, saya duduk berjam-jam dalam ruang kelas yang gelap untuk melihat dan mendengarkan penjelasan profesor saya melalui infokus proyektor. Beliau menjelaskan tentang kehebatan hasil karya Seni Barat,” paparnya seperti dikutip dari situs whyislam.org.

Wajah Islam
Saat di Waterloo ini, Ingrid Mattson sempat bekerja pada bagian Departemen Seni Rupa, yang salah satu tugasnya mempersiapkan slide dan katalog seni. Karenanya setiap kali masuk ke perpustakaan, menurut Mattson, ia selalu mengumpulkan buku-buku seni sejarah.

Dan untuk mendapatkan bahan-bahan guna keperluan pembuatan katalog seni, ia terpaksa harus pergi ke museum yang ada di Toronto, Montreal, dan Chicago.

Bahkan, ia harus merelakan masa liburan musim seminya dihabiskan di dalam Museum Louvre yang berada di tengah Kota Paris. Saat berada di Paris inilah untuk kali pertama dalam hidupnya Mattson berjumpa dengan seorang Muslim. Ia menyebut momen tersebut sebagai ‘the summer I met Muslims’. ”Saya selalu terkenang akan peristiwa ini,” ujarnya.

Ingrid MattsonApa yang dicarinya selama ini, ungkap Mattson, hanya berkaitan dengan semua karya seni yang tergambar dalam bentuk visual. Peradaban Barat memang dikenal memiliki tradisi menggambarkan sesuatu dalam bentuk visual, termasuk penggambaran mengenai keberadaan Tuhan.

”Kita banyak membuat kesalahan dengan berpikir bahwa melihat berarti mengenali, dan semakin terekspose seseorang itu, maka semakin pentinglah orang tersebut,” kata Mattson.

Namun, akhir dari pencariannya tentang seni telah membawa Mattson bertemu dengan dua orang seniman, laki-laki dan perempuan, yang tidak membuat patung dan lukisan sensual tentang Tuhan. ”Mereka telah mengenali Tuhan dengan cara yang berbeda, menghargai pemimpin, dan menghargai hasil kerja seorang wanita,” tuturnya.

Gambaran mengenai Islam yang ia dapatkan dari kedua orang teman barunya ini, membawa Mattson pada pengenalan wajah Islam yang semakin baik.

Ia menyatakan, peradaban Islam tidak menganut sistem penggambaran sesuatu dalam bentuk visual di dalam mengingat dan memuji Tuhan dan menghargai seorang Nabi.

”Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah sesuatu yang tersembunyi. Tersembunyi dalam pantulan mata umat manusia. Tetapi, orang yang memiliki penglihatan dapat mengenali Tuhannya dengan melihat, mempelajari pengaruh dari kekuatan ciptaan-Nya,” papar Mattson.

Selain penggambaran terhadap Tuhan, umat Islam juga melarang penggambaran terhadap semua Nabi Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Umat Islam hanya menuliskan nama mereka dalam bentuk kaligrafi. Kata-kata, tulisan, dan ucapan serta akhlak mulia dalam kehidupan merupakan media utama bagi Muhammad SAW dalam menyebarkan pengaruhnya ke seluruh umatnya.

Dari sinilah kemudian Mattson mulai tertarik untuk mempelajari keyakinan yang dianut oleh kedua temannya yang asal Senegal itu.

Ia pun mulai menggali tentang ketuhanan dan kepribadian MuhammadShallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui Al-Quran terjemahan. Setelah banyak mempelajari lebih jauh mengenai Islam dari Al-Quran, Mattson akhirnya menyadari dan yakin adanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

”Pilihan-pilihan anda mencerminkan siapa diri anda. Meski ada keterbatasan, tapi selalu tersedia kesempatan untuk memilih yang terbaik,” katanya.

Yang membuatnya semakin tertarik dengan Islam adalah semua umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak hanya mengikutinya dalam hal beribadah, tetapi juga di dalam semua aspek kehidupan, mulai dari kebersihan diri sampai pada cara bersikap terhadap anak-anak dan tetangga. Semua perbuatan, perkataan, dan perilaku Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam inilah yang disebut dengan sunah.

Dan pengaruh sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut telah tergambar pada kehidupan para orang tua, muda, kaya, miskin, yang menjadikannya sebagai suri teladan bagi semua pengikutnya.

”Pertama kali saya menyadari pengaruh fisik dari sunah Nabi MuhammadShallallahu ‘Alaihi Wasallam pada generasi muda Muslim adalah ketika suatu hari saya duduk di masjid, menyaksikan anak saya yang berumur 9 tahun shalat di samping guru mengajinya. Ubayda duduk di samping guru dari Arab Saudi yang dengan tekun dan lembut mengajarinya sehingga membuatnya sangat respek dan hormat,” tuturnya.

Ingrid MattsonPerkenalan Ingrid Mattson tentang Islam makin berkembang saat ia berkunjung ke sejumlah negara yang mayoritas berpenduduk Muslim.

Beberapa peristiwa yang dia temui di negara-negara tersebut, diakui Mattson makin mempertebal keyakinannya terhadap Islam.

Lebih setahun, dalam perjalanannya ke negara-negara Muslim ini ia menyaksikan kesamaan keinginan untuk berbagi dan selalu saling memberi antara sesama serta kesamaan keyakinan yang mendalam.

”Makanan untuk dua orang cukup untuk tiga orang dan makanan untuk tiga orang cukup untuk empat orang,” jelasnya sambil mengutip hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Salah satunya adalah ketika ia mengunjungi Kosovo. Selama serangan Serbia ke Kosovo, banyak Muslim Albania yang menyediakan rumah mereka untuk para pengungsi. Bahkan, satu orang memasak setiap harinya untuk 20 orang dalam rumah yang sederhana.

Begitu juga ketika ia menikah di Pakistan. Sebagai pekerja sosial pada kamp pengungsian, Mattson dan suami tidak memiliki cukup uang. Sekembalinya dari pernikahan ke kamp pengungsian, para wanita Afghanistan bertanya kepadanya tentang pakaian, perhiasan emas, cincin kawin, dan kalung emas yang diberikan oleh suami kepadanya sebagai mahar.

”Saya perlihatkan kepada mereka cincin emas sederhana dan saya ceritakan tentang baju pengantin yang saya pinjam untuk menikah. Wajah mereka langsung berubah menunjukkan perasaan sedih dan simpati,” tuturnya.

Sepekan setelah peristiwa itu, saat ia sedang duduk di depan tenda kamp pengungsi yang berdebu, para wanita Afghanistan tersebut muncul lagi. Mereka datang menemuinya dengan membawa celana biru cerah terbuat dari satin dengan hiasan emas, sebuah baju berlengan merah dengan warna-warni dan scarf warna biru yang tampak serasi dengan pakaian, sebagai hadiah pernikahan.

”Semua yang saya lihat adalah hadiah pernikahan yang tak ternilai bagi saya. Bukan saja dukungan mereka, tetapi pelajaran keikhlasan dan rasa empati yang mereka berikan yang merupakan buah yang sangat manis dari sebuah keyakinan yang benar,” pungkas Mattson.

Ulf Karlsson: Atheis yang Terpikat Kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Ulf Ibrahim Karlssonkisahmuallaf.com – Ia lahir dan tumbuh di tengah keluarga Swedia, tak religius namun penuh kasih sayang. Di tahun pertama sekolah menengah pertamanya, ia menuliskan mimpinya untuk menikah dengan seorang wanita Muslim saat dewasa kelak. Saat duduk di bangku sekolah menengah atas, ia membaca beberapa paragraf terjemahan Al-Quran di perpustakaan dan mendapati penjelasan yang logis.

Namun Ulf Karlsson, pria Swedia itu, tak pernah tahu siapa itu Muslim dan juga apa itu Islam. Dan selama 25 tahun pertama hidupnya, ia tak pernah meyakini keberadaan Tuhan.

“Aku (dahulu) adalah contoh nyata manusia materialistis,” Ulf mengawali ceritanya. Ketika menuliskan mimpinya menikahi seorang perempuan Muslim, Ulf hanya tahu perempuan yang diimpikannya itu menggunakan baju panjang dan berkerudung. Ia bahkan tak ingat apa yang dibacanya saat menekuni terjemahan Al-Quran di perpustakaan bertahun-tahun lalu.

Karenanya, Ulf bertahan dengan ketidakberagamaannya. “Aku tak dapat menempatkan Tuhan di duniaku sehingga aku merasa aku tak membutuhkan Tuhan. Kupikir kita punya Newton untuk menjelaskan bagaimana sistem semesta berjalan,” lanjutnya.

Waktu berlalu. Ulf menyelesaikan studinya, bekerja, mendapatkan uang, dan mulai tinggal di apartemennya sendiri. Suatu ketika ia tertarik dengan perangkat fotografi yang ada di komputer, yang membuatnya bersemangat mendalami dunia gambar dua dimensi itu.

Suatu hari, saat sedang mendokumentasikan aktivitas pasar melalui lensa tele miliknya, seorang imigran yang tampak marah menghampirinya. Ulf diminta tidak melanjutkan aktivitasnya mengambil gambar ibu dan saudara-saudara si imigran. “Saat itu aku merasa mulai mengenal Muslim. Mereka orang yang aneh,” katanya.

Tak lama, Ulf segera tahu dirinya pun dikelilingi keanehan. Ia tak pernah tahu mengapa ia melakukan apa yang pernah dilakukannya. “Terlebih hal-hal yang berkaitan dengan Islam, karena aku sama sekali bukan seorang yang beriman pada agama apapun,” katanya.

Hingga sekarang ia tak pernah mengerti mengapa ia pernah menelepon sebuah organisasi informasi Islam di Swedia dan berlangganan newsletter mereka. Pun alasan membeli Alquran dan sebuah buku islami berjudul Islam;Our Faith. “Aku tak pernah tahu mengapa. Aku hanya melakukannya begitu saja.”

Dorongan-dorongan itu tak lantas membuat Ulf segera memberikan perhatian pada Islam. Bahkan, meski telah membaca hampir seluruh isi Alquran yang dibelinya dan menemukan bahwa isi kitab itu begitu indah dan logis, Ulf tetap berpendirian dirinya tak perlu Tuhan. “Tuhan tetap tidak punya tempat di hatiku,” kenangnya.

Setahun berselang, Ulf berkesempatan mengunjungi wilayah berjuluk “Pretty Island” untuk mengabadikan musim gugur di sana. Saat itulah, berhadapan dengan hamparan pemandangan alam yang luar biasa indah, Ulf, untuk pertama kalinya, dilanda perasaan yang luar biasa.

“Aku merasa diriku adalah sebuah bagian yang sangat kecil dari sesuatu yang lebih besar.” Dan sesuatu yang lebih besar itu, lanjutnya, berada di dalam sesuatu yang lebih besar milik Tuhan, yakni alam semesta. “Itu hebat! Aku tak pernah alami perasaan itu sebelumnya,” ujarnya.

Tenang, dipenuhi ledakan energi, dan di atas itu semua, Ulf tiba-tiba berada dalam kesadaran penuh tentang Tuhan pada detik-detik ajaib itu. Ia tak ingat berapa lama perasaan itu tertinggal di hatinya. Ketika akhirnya ketakjuban itu berakhir saat ia kembali pulang dari Pretty Island, Ulf merasa pengalaman itu tak berdampak apapun bagi dirinya.

Perkiraan Ulf keliru, karena meski tak berdampak langsung, pengalaman itu melekat kuat dalam pikirannya. Singkat cerita, dari internet, Ulf berkenalan dengan Shahida, seorang perempuan Amerika yang juga mualaf.

Shahida segera menjadi sahabat pena Ulf. Melalui email, Ulf kerap berdiskusi tentang Islam dan Tuhan. “Ia memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Ia berpesan padaku, ‘Dengarkan kata hatimu, maka kau akan menemukan kebenaran’,” tutur Ulf.

Ulf menemukan kebenaran itu. “Lebih cepat dari yang kuharapkan,” katanya. Suatu hari, dalam bus yang membawanya pulang dari tempat kerja, Ulf kembali menikmati lukisan indah Tuhan yang tercipta saat matahari tenggelam. “Awan yang berpencar-pencar tampak begitu indah dengan warna merah muda dan oranye, dengan keindahan yang menyatu.”

Dalam perjalanan itu, Ulf mulai berpikir tentang bagaimana Tuhan mengatur kehidupan manusia, juga tentang bagaimana dirinya yang berorientasi pada hal-hal fisik dapat meyakini keberadaan Tuhan. Untuk kedua kalinya, Ulf dilanda perasaan takjub.

Pengalaman indah lainnya ia dapati saat terbangun di pagi hari. “Pikiran pertama yang terlintas di otakku pagi itu adalah betapa bersyukurnya aku pada Tuhan karena Ia telah membuatku terbangun di hari yang baru dengan banyak kesempatan.”

Pengalaman itu seolah menjadi ketukan palu akhir yang memberi Ulf keputusan akhir tentang keyakinannya. “Aku tak lagi dapat menyangkal keberadaan Tuhan,” ujarnya. Namun setelah 25 tahun hidup tanpa keyakinan tentang Tuhan, Ulf kesulitan menanamkan keyakinan itu di hatinya. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk berdoa dan memfokuskan pikirannya pada Tuhan. “Aku mencoba mendengarkan kata hatiku.”

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberinya kemudahan, saat berada di New York, ia berkesempatan bertemu Shahida, perempuan Muslim yang dikenalnya melalui internet. Dan setelah pertemuan itu dirasa Ulf tak memberinya banyak perubahan, ia memberanikan diri mengontak masjid terdekat dan meminta agar dipertemukan beberapa Muslim.

“Aku menyetir mobilku menuju masjid dengan kaki bergemetar,” kenang Ulf. Sampai di masjid, ia bertemu dengan sejumlah Muslim yang memberinya banyak bacaan tentang Islam dan membuatkannya rencana kunjungan ke rumah beberapa Muslim.

Ulf mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya, dan Islam segera menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ia mulai shalat secara teratur, dan mengikuti shalat Jumat untuk pertama kalinya. “Itu pengalaman yang luar biasa. Sekitar 200 orang berserah diri untuk satu hal; mengagungkan Tuhan,” katanya.

Perlahan, Ulf mulai menemukan kebenaran lewat kata hatinya. “Aku mulai memerankan diriku sebagai seorang Muslim,” katanya. Hanya saja, di saat yang sama, Ulf meragukan pilihannya untuk masuk Islam. Respon keluarga dan teman, kebiasaan-kebiasaan lamanya, serta larangan dan kewajiban yang akan mengikutinya sebagai Muslim membayangi pikirannya.

Ulf lalu mulai banyak menggali informasi dari internet dan menemukan banyak informasi tentang Islam, termasuk kisah seorang mualaf yang membuatnya berlinang air mata. Di titik itu, ia sadar dirinya tak bisa lebih lama lagi menolak Islam.

Maka, suatu pagi di musim dingin, Ulf bersiap. Dari dalam kamarnya, ia melihat langit berwarna kelabu lengkap dengan angin dingin yang berhembus kencang. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia bergegas menuju mobil dan menyetir mobilnya ke masjid terdekat, satu jam perjalanan dari tempat tinggalnya.

Setelah shalat Dhuhur, disaksikan imam masjid dan sejumlah Muslim, Ulf bersyahadat. Ulf bersyukur atas dua hal, atas keislamannya serta respon baik keluarga dan teman-temannya. “Hingga saat ini mereka masih berpikir semua hal baru yang kulakukan adalah kebiasaan asing yang akan hilang seiring waktu.”

“Aku akan membuktikan pada mereka itu tidak akan terjadi, Insya Allah,” ujar pria yang kini bangga memperkenalkan dirinya sebagai Ulf Ibrahim Karlsson.

Thursday 19 July 2012

Lewat Mimpi, Ahui Menuju Islam & Kembali Bangkit

Muhammad Ahui Abdulkisahmuallaf.com – Lelaki kelahiran Pontianak, 1958 Silam itu saban harinya bekerja sebagai penjual mie ayam di depan Masjid Lautze, Pasar Baru Jakarta. Ia adalah pria keturunan etnis Tionghoa dengan nama Ahui, yang kemudian memeluk Islam pada 2001 silam, juga di masjid tersebut.

Pria yang kini bernama Muhammad Abdul mengaku tidak dulu tak pernah terbesit untuk menjadi muslim. Ia memang tak pernah peduli dengan agama apa pun. Baginya kehidupan hanyalah tidur, bangun, makan dan mencari uang sebanyak-banyaknya.

Ia tak menyangka sikap pragmatis itu diubah denggan sesuatu yang sifatnya berbeda seratus delapan puluh derajat, yakni mimpi. Ia mengaku menjadi muslim lantaran mendapat petunjuk berupa mimpi.

Sekitar tahun 1997 ia bermimpi ada disebuah ruangan besar yang menggelar pengajian dan ia berada didalamnya. Awalnya ia mengabaikan, namun ternyata mimpi-mimpi yang berhubungan dengan islam datang berulang kali.

Kemudian tahun 1998 ia kembali bermimpi soal Islam. Anehnya, tutur Ahui, mimpi serupa pun dialami sang istri. Sebelum almarhumah istrinya menghadap sang khalik, ia bercerita tentang mimpinya di mana ia hadir dalam sebuah pengajian, dan diberi hadian Alquran Namun saat keluar dari tempat pengajian tersebut, Alquran yang ia pegang jatuh dan terbelah dua.

Selama satu tahun dua bulan Ahui mengaku tidak bisa tidur sebelum adzan subuh berkumandang. Ditelinganya seperti ada bisikan-bisikan. Akhirnya ia membulatkan tekad dan mengucapkan syahadat pada 2001.

Setelah menjadi muslim, Ahui yang masih penasaran dengan bisikan bertanya kepada kepada ulama pembimbingnya. Si pembimbing mengatakan bahwa itu adalah suara orang mengaji.

Sebelum masuk Islam, Ahui menuturkan, kehidupannya begitu terpuruk didera kemiskinan. Apalagi sepeninggal istrinya. Namun setelah ia menjadi muslim kehidupan Ahui berubah. Ia lebih bersemangat dan bangkit dari keterpurukan menjadi seorang penjual mie ayam di depan Masjid Lautze, hingga kini.

“Islam memberi cahaya terang, membantu saya bangkit,” ungkapnya. Tak ada niatan sedikit pun baginya untuk mundur dari islam. Baginya hidupnya yang paling sempurna adalah berada dalam tuntunan agama Islam.

Monday 16 July 2012

Yusuf Estes, Musisi dan Pendeta yang Memeluk Islam

Yusuf Esteskisahmuallaf.com – Tak sedikit yang bertanya-tanya soal keputusanpendeta Yusuf Estes memeluk Islam. Apalagi di tengah pembicaraan negatif tentang Islam dan muslim.

“Banyak orang ingin tahu, bahkan mempertanyakan secara detail mengapa saya memeluk Islam,” ujar Estes.

Estes lahir dari keluarga Kristen yang taat di Midwest, Amerika Serikat. Keluarganya secara turun-temurun membangun gereja dan sekolah di AS.

Ia menempuh pendidikan dasar di Houston, Texas. Semasa kecil, ia selalu menghadiri gereja secara teratur. Ia dibaptis pada usia 12 tahun di Pasadena, Texas.

Keingintahuannya yang besar terkait ajaran Kristen membuatnya ingin mengunjungi gereja-gereja lain. Ia datangi gereja Metodis, Episkopal. Nazareth, Agape, Presbyterian dan lainnya.

Tak hanya itu, Estes juga mempelajari agama lain seperti Hindu, Yahudi, dan Buddha. “Saya tidak menaruh perhatian serius pada Islam. Inilah yang banyak ditanyakan oleh teman-temanku,” kenang dia.

Tak hanya tertarik dengan agama, Estes juga menaruh perhatian pada musik, utamanya musik klasik. Kebetulan, keluarganya gemar menikmati musik. Ia bahkan menjadi pengajar Keyboard pada tahun 1960 dan tiga tahun kemudian memiliki studio sendiri di Laurel, Maryland.

Seiring berlalunya waktu, bisnis yang digeluti Estes terus berkembang. Bersama ayahnya, ia membuat program hiburan dan atraksi. Ia juga membuka toko piano dan organ sepanjang jalan dari Texas, Oklahoma dan Florida.

Dari bisnis itu, Estes memperoleh pendapatan hingga jutaan dolar AS. Tapi ada satu hal yang mengganjal. Pikirannya tidak merasa tenang. “Mengapa Tuhan menciptakan aku? Apa yang Tuhan inginkan?. Tapi di agamaku terdahulu, siapa pun harus percaya tanpa perlu bertanya,” tuturnya.

Satu hal yang membuat Estes merasa aneh adalah tidak terdapat kata “trinitas” dalam Injil. Masalah itu, kata dia, telah menjadi perhatian selama dua abad. Ia pernah mempertanyakan masalah ini kepada para pendeta.

Nyatanya, tidak ada jawaban yang logis. Sebaliknya, terlalu banyak analogi dan pendapat yang aneh. Untuk sementara pikiran itu teralihkan oleh kesibukannya dalam mengurusi bisnis.

Bisnis Estes terus berkembang, kali ini ia memproduksi lagu-lagu pujian dan mendistribusikannya secara gratis kepada pensiunan, rumah sakit dan panti jompo. “Memberikan siraman rohani kepada orang lain membuatku lupa dengan keraguan yang kualami,” ungkapnya.

Yusuf EstesDiawal 1991, bisnis Estes mulai merambah keluar negeri. Negara pertama yang ia kunjungi adalah Mesir.

Di negeri Piramida, Estes bertemu dengan seorang pria Muslim. Satu hal yang ada di pikiran Estes tentang Muslim, “teroris”. Estes tidak percaya ia harus berhubungan dengan sosok yang begitu ia benci.

“Mereka tidak percaya kepada Tuhan. Mereka adalah penyembah kotak hitam di padang pasir. Mereka cium tanah lima kali sehari. Sial, saya tidak ingin bertemu dengan mereka,” kata Estes menirukan ucapannya dahulu saat tiba pertama kali di Mesir.

Sikap Estes akhirnya luluh, ketika ayahnya menjelaskan sosok yang bakal ditemui. Ayahnya mengatakan calon klien yang akan ditemui memiliki kepribadian yang baik. Tapi alasan yang paling diterima Estes adalah rencana ayahnya untuk mengkristenkan setiap Muslim. “Itulah alasan kuat yang akhirnya membuat saya mau bertemu dengan pria Muslim itu,” ucapnya.

Akhirnya, Estes dan ayahnya bertemu dengan pria Muslim itu setelah kebaktian. Dengan sikap jumawa, Estes memegang erat Injil di tangannya. Ia bawa salib dengan tampilan mengilap. Detik-detik bertemu dengan kliennya itu, Estes terkejut.

“Orang ini sangat hangat. Mereka ramah sekali,” kenang Estes ketika bertemu pertama kali dengan pria tersebut. Penampilan pria ini seperti kebanyakan masyarakat Arab. Mereka kenakan jubah panjang, bersorban, dan berjanggut. Bedanya, pria ini tidak memiliki rambut.

Berikut dialog Estes dan Pria itu:

Estes: Apakah anda percaya pada Tuhan?

Pria Muslim: Ya

Estes: Apakah anda percaya Adam dan Hawa?

Pria Muslim: Ya

Estes: Bagaimana dengan Ibrahim, anda percaya kepadanya dan bagaimana ia mencoba mengorbankan putranya untuk Allah?

Pria Muslim: Ya

Estes: Bagaimana dengan Musa? Sepuluh perintah Tuhan? Membelah Laut Merah?

Pria Muslim: Ya

Estes: Bagaimana dengan nabi lain; Daud, Sulaiman dan Yunus?

Pria Muslim: Ya

Estes: Apakah anda percaya dalam Alkitab?

Pria Muslim: Ya

Estes: Apakah anda percaya pada Yesus? Bahwa ia adalah Mesiah (utusan) Allah?

Pria Muslim: Ya.

“Aku merasa lebih mudah. Ia (Muslim) siap dibaptis, hanya saja ia tidak tahu apa yang akan saya lakukan,” kata Estes.
Perbincangan itu sempat membuat Estes terkejut. Ternyata seorang Muslim percaya pada Injil. Tapi dirinya baru tahu kalau keimanan Muslim terhadap Yesus hanya sebatas utusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, lahir tanpa ayah, tengah berada di langit bersama pencipta-Nya dan akan turun ketika akhir zaman tiba.

Yusuf EstesEstes tak berhenti bertanya kepada pria Muslim itu. Ia bertanya banyak hal. Dalam pikiran Estes, ada kepercayaan diri tinggi bahwa pria Muslim itu bakal menjadi penganut Kristen yang taat.

Lalu bisnisnya bakal berkembang lebih dari yang dibayangkan. “Saya minta kepada ayah untuk segera mempercepat bisnis dengan pria Muslim ini,” kata dia.

Sebelum tercapai kata sepakat, Estes mulai menjalani tugasnya sebagai misionaris. Ia temui orang miskin, lalu berbicara dengan tentang konsep ketuhanan dalam Kristen. Ia juga mengunjungi sesama pendeta dan penginjil di seluruh negara bagian Texas.

Suatu hari, ada salah seorang temannya yang mengalami serangan jantung, dan harus pergi ke Rumah Sakit Veteran. Estes mengunjunginya beberapa kali dalam sepekan. Ketika bertemu dengan kerabatnya itu, ia bertemu dengan salah seorang pasien lain yang tengah duduk dengan kursi roda.

Estes melihat pria itu begitu kesepian dan depresi. “Saya temani dia sembari mengisahkan cerita Yunus. Intinya, saya coba memberitahunya bahwa kita tidak bisa lari dari masalah karena kita sebenarnya tahu apa yang harus dikerjakan. Yang lebih penting lagi, Tuhan tahu apa yang dilakukan umatnya,”ujarnya.

Setelah berbagi cerita, pria itu lalu mendongak ke langit, lalu meminta maaf. Pria itu mengatakan kepada Estes soal penyesalan dirinya atas perbuatannya selama ini. Pria itu kemudian mengadu kepada Estes. “Ia berkata padaku, ia seorang imam Katolik. Saya sangat terkejut, apa yang terjadi di dunia ini?” kata Estes heran.

Mendengar kisah pastor itu, Estes mengajaknya tinggal bersama. Dalam perjalanan pulang, Estes dan pastor itu berbicara panjang lebar tentang kepercayaan dalam Islam.

Yang mengejutkan, pastor itu mengakui kebenaran Islam. “Ia tengah mempelajari Islam. Saya sempat terkejut. Inilah masa di mana saya akhirnya mulai menerima Islam,” kenang Estes.

Setibanya di rumah, Estes kembali melanjutkan diskusi bersama pastor itu. Ia bawa Injil James dan Injil lainnya. Ia habiskan waktu sepanjang hari untuk berbicara tentang kebenaran dalam Injil.

Pada satu titik, Estes bertanya pada pastor itu tentang Al-Quran berikut versi barunya. “Dia mengatakan pada saya, hanya ada satu Al-Quran. Tidak ada yang berubah dengan Alquran!” tutur Estes.

Melihat Estes penasaran, pastor itu menjelaskan bahwa ratusan bahkan jutaan Muslim yang tersebar di muka bumi, telah menghafal Al-Quran. Yang membuat Estes bingung, bagaimana bisa Al-Quran bisa bertahan sekian abad, sementara kitab sucinya sendiri telah berubah selama ratusan tahun. Bahkan tidak diketahui naskah aslinya. “Jadi, bagaimana bisa Al-Quran tidak berubah?”tanya Estes heran.

Pada suatu hari, sang pastor meminta Estes untuk mengantarkannya ke masjid. Di sana, Estes baru mengetahui bahwa mereka (Muslim) hanya datang untuk shalat dan pergi kemudian. Ia merasa aneh melihat mereka, yang tak bernyanyi atau menyenandungkan pujian.

Beberapa hari kemudian, pastor itu meminta Estes untuk kembali mengantarkannya ke masjid. Namun, Estes meminta pesuruhnya untuk mengantikan dirinya. Cukup lama pastor itu mengunjungi masjid, hingga memunculkan kekhawatiran Estes.

Tiba-tiba, Estes dikejutkan dengan sosok menggunakan jubah putih dan peci.“Hei, siapa anda? Apakah anda, apakah anda telah menjadi Muslim?” Estes kaget bukan kepalang.

Belum selesai dengan rasa terkejutnya dengan keputusan pastor itu memeluk Islam, giliran istrinya yang menyatakan niatnya untuk memeluk Islam. “Saya sangat terkejut. Saya tidak bisa tidur,” kata Estes.

Jelang Subuh, Estes tak lagi mampu menutupi keinginannya untuk memeluk Islam. Ia keluar rumah, lalu menemukan sepotong kayu, ia berdirikan kayu tepat di arah kiblat umat Islam. Dalam hati Estes bertanya, “Ya Tuhan, jika Kau ada di sana, bimbing aku, bimbing aku.”

Beberapa saat kemudian, Estes melihat sesuatu. Ia tidak melihat malaikat atau mendengar sesayup suara. Ia melihat dirinya sudah berubah. Ia melihat dirinya sudah seharusnya menghentikan perbuatan bodoh dan melakukan sesuatu yang licik.

Selanjutnya, Estes membersihkan dirinya. Sekitar pukul 11.00 pagi, ia berdiri di depan dua saksi, salah satunya si mantan pastor—yang dikenal sebagai Bapa Peter Jacob—dan lainnya Abdel Rahman. Estes lalu mengucapkan dua kalimat syahadat.

Aku bersaksi, tidak ada tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah,” ucap Estes mantap. Selanjutnya, giliran sang istri mengucapkan dua kalimat syahadat. Beberapa bulan kemudian, giliran ayah Estes mengucapkan dua kalimat syahadat.

Tak lama setelah ayahnya, giliran ibunya mengakui bahwa Yesus bukanlah anak Tuhan. Ia adalah nabi. “Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima keimanannya,” kata Estes.

Estes begitu cepat beradaptasi dengan status barunya. Seluruh kegiatan bisnis yang ia lakukan dimodifikasi dengan menjadi medium untuk menyebarkan syiar Islam. Ia juga membangun sekolah-sekolah guna mendidik para Muslim mendalami Al-Quran. “Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala membimbing kita menuju kebenaran. Aamiin,” pungkasnya.

Melekh Yacov : Yahudi Hasidic yang Memeluk Islam

kisahmuallaf.com – Melekh Yacov lahir di New York. Ia dibesarkan dalam keluarga Yahudi Hasidic, kelompok Yahudi ultra-ortodoks. Berbeda dengan penganut Hasidic lain, keluarga Yacov tergolong biasa-biasa saja dalam menjalankan keyakinannya.

“Kami tidak seperti itu, kami tetap beraktivitas ketika hari sabat. Saya juga tidak mengenakan yarmulke di kepala. Yang pasti, keluargaku lebih banyak dipengaruhi kehidupan sekuler,” kenang Yacov.

Semasa muda, Yacov merasa tidak seperti orang Yahudi. Ia tidak lagi mempedulikan hari sabat. Ia juga sering mengkonsumsi makanan non halal. Yacov sadar, dirinya tidak lagi mematuhi aturan. Saat itu ia berpikir, apa yang ia lakukan merupakan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal semasa kecil, ia banyak mendengar cerita kisah para rabi seperti Eliezar, Baal Shem Tov dan Taurat.

Setiap cerita yang ia dengar menunjukan Yahudi sepanjang sejarah selalu ditindas. Selama itu pula, Tuhan bersama umatnya sampai akhir. “Bangsa kami selalu mendapat anugerah-Nya. Jika seseorang ingin memperoleh pandangan objektif tentang alasan orang Yahudi memiliki sikap zionis maka anda harus melihat bagaimana kami didoktrin sejak kecil. Itulah mengapa, kami seolah tidak pernah melakukan kesalahan apapun,” paparnya.

Yacov tahu betul bahwa orang Yahudi memiliki ikatan yang kuat satu dengan yang lain. Setiap orang Yahudi selalu memegang erat “umat pilihan” AllahSubhanahu Wa Ta’ala. Tapi ia tidak merasa nyaman dengan itu.

Ia masih ingat, betapa membosankannya saat ia diajak ayahnya mengunjungi sinagoga “Saya merasa aneh dengan melihat banyak orang bertopi hitam dengan janggut panjang lalu berdoa dengan bahasa Ibrani,” ucapnya.

Memasuki usia 13 tahun, Yacov menjalani proses khitan, atau dalam tradisi Yahudi disebut Bar-mitvahh’ed. Lalu, setiap paginya ia menempatkan Tefilin, kotak hitam berisi ayat Taurat.

Namun, kebiasaan itu tidak berlangsung lama. Awalnya, ayah Yacov bertengkar dengan anggota jamaah lain. Sejak itu, ayah menolak untuk mendatangi sinagoga.

Tak berselang lama, ayahnya memutuskan untuk memeluk agama Kristen. Putusan itu lantaran diajak temannya. Ibunya enggan menerima keputusan suaminya itu, dan akhirnya mengajukan cerai. Masa-masa ini merupakan yang terberat dalam hidup Yacov.

“Keputusan ayah banyak berpengaruh padaku. Saya sendiri bingung, sebenarnya apa Yahudi itu apakah bangsa, budaya atau agama. JIka bangsa, mengapa orang Yahudi selalu menjadi warga negara kelas dua. Jika agama, mengapa setiap doa dibacakan dalam bahasa Ibrani. Lalu jika budaya, jika seseorang berhenti menjadi Yahudi maka ia berhenti berbicara bahasa Ibrani dan mempraktekan tradisi Yahudi,”
tanya Yacov.

Pertanyaan lain yang mengemuka dalam pikiran Yacov adalah mengapa Ibrahim disebut Yahudi padahal ia hidup sebelum Taurat diturunkan kepada Nabi Musa. Anehnya lagi, Taurat tidak menyebutkan Nabi Ibrahim sebagai orang Yahudi. Kata Yahudi sendiri berasal dari nama salah satu dari 12 anak Nabi Yakub, yakni Yehuda.

“Dalam tradisi Yahudi sendiri, ketika ibunya seorang Yahudi, maka anda dapat menjadi orang Yahudi meski memeluk agama Kristen atau atheis. Sejak itu, saya mulai menjauh dari tradisi Yahudi, karena saya tidak puas lantaran terlalu banyak tanda tanya,” ujarnya.

Sejenak menjauh dari tradisi Yahudi, Yacov mulai terpesona dengan budaya asli Amerika. Mereka dinilai Yacov memiliki semangat juang tinggi menghadapi sikap jumawa kulit putih. Mereka terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Terkucil, namun tidak berputus asa dengan keadaan.

Kondisi itu, ditangkap Yacov, seperti apa yang dialami bangsa Palestina. Selama ribuan tahun, bangsa Palestina menempati tanah suci. Kini, mereka harus digantikan orang Yahudi.

Penduduk asli terpaksa tinggal di kamp pengungsi. “Lalu saya bertanya kepada orang tua tentang apa perbedaan warga asli Amerika dan Palestina. Jawaban yang saya dapatkan adalah bangsa Palestina selalu ingin membunuh orang Yahudi lalu mengusir mereka ke laut,” ungkapnya.

Namun, Yacov tidak begitu saja menerima jawaban itu. Menurut dia, orang Yahudilah yang membunuhi warga Palestina. Bagaimana bisa, orang Yahudi menyangkal pengusiran yang dilakukannya. “Mereka memprotes adanya pembantaian etnis. Tapi mereka sendiri melakukannya. Mereka berdalih hal itu dibenarkan dalam Taurat, tapi sebenarnya tidak seperti itu,” ucap Yacov.

Memasuki jenjang sekolah menengah, Yacov mulai tertarik mendalami filsafat. Ia menghabiskan waktu membaca karya pemikir-pemikir besar, seperti filsufYahudi Spinoza. Ia juga membaca karya Abram Leon, tokoh komunis Belgia, yang tewas di Aushwitz. Tak ketinggalan karya Karl Marx, Lenin, Stalin, Mao Zeding dan Leon Trotsky.

“Setiap kali saya membaca Marxisme, saya merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hidup saya. Kadang saya merasa telah menemukan jawabannya, namun sebenarnya tidak,” kenang dia.

Setelah bertemu semua kelompok kiri, Yacov tidak bisa seutuhnya menerima konsep atheisme. Ia percaya, ada tujuan akhir dalam hidup ini. Agama adalah alat untuk menjembatani antara kehidupan di dunia dan kehidupan lain sesudah kematian.

Di sisi lain, ia membenci aliran fundamentalis dalam agama. “Saya masih percaya adanya agama, tapi saya merasa skeptis dengan terhadap semua agama,” paparnya.

Kekosongan itu, secara perlahan mulai terisi. Ia tidak ingat, apa yang membuatnya tertarik dengan Islam. Namun, ia pernah mendengar ibunya bercerita tentang Islam, sosok Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keturunan Ibrahim ‘Alaihissalam dari bangsa Arab.

“Saat itu saya melihat Islam hanya sebatas agama yang menyembah satu Tuhan. Tapi pandangan saya berubah, ketika sepupu saya (Chasid) mengatakan jika seorang Yahudi menjadi Muslim maka ia akan berbuat dosa. Saya sontak terkejut,” kenangnya.

Ketika tragedi 9/11, gerakan anti Islam tumbuh pesat. Awalnya, ia sadar ada sesuatu yang dilindungi. Hal itu yang membuatnya tertarik mengenal lebih dalam tentang Islam. “Saya bersyukur, tanpa mereka (media dan masyarakat), saya tidak akan mendalami Islam,” ucapnya.

Suatu hari, ia mendengar diskusi tentang fakta ilmiah dalam Injil. Sekelebat, ia bertanya, apakah Alquran memiliki fakta ilmiah didalamnya. Pertanyaan itu segera ia cari jawabannya. Ia gali informasi lewat internet. Butuh banyak artikel yang perlu ia baca guna menemukan jawaban itu. ia pun terkejut dengan apa yang ia baca.

“Al-Quran memiliki pesan moral yang luar biasa. Sangat menyenangkan ketika membacanya. Sekitar lima bulan mendalami Islam, akhirnya saya memutuskan menjadi Muslim, dan mengucapkan dua kalimat syadahat, Aku Bersaksi tiada Tuhan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan Aku bersaksi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam utusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” kenang dia.

Tidak butuh waktu lama, bagi Yacov beradaptasi. Ia melihat Islam merupakan agama yang masuk akal. Islam membantunya memahami dunia. Satu hal yang ia yakini bahwa setiap agama pada dasarnya sama, tetapi telah dirusak oleh manusia dari waktu ke waktu.

“Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menyebut Yahudi dan Kristen guna memberitahu umat manusia untuk menyembah-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala hanya menyebut Islam, jelas dan sederhana.”
ujarnya penuh keyakinan.

Jeremy Boulter: Allah Itu Maha Perkasa, Tak Butuh Perantara

jeremy boulterkisahmuallaf.com – Dalam beragama Jeremy Ben Royston Boulter, seorang penganut Katolik, berkeyakinan bahwa Tuhan sebagai pencipta alam semesta tidak membutuhkan medium untuk berkomunikasi dengan ciptaan-Nya.

Dan sebaliknya, manusia tidak membutuhkan medium untuk berkomunikasi dengan-Nya. Prinsip itu ia jaga saat mencari kebenaran hakiki.

Jeremy dilahirkan memang dilahirkan dalam keluarga Katolik. Akan tetapi ia tidak memercayai Yesus sebagai Tuhan, dan Maria sebagai Ibu Tuhan. Menurutnya, Yesus dan Bunda Maria hanyalah penghubung Sang Pencipta.

“Saya merasa frustasi dengan Perjanjian Lama. Terlalu banyak kejanggalan. Misalnya saja, Tuhan menganggap Yerusalem sebagai istrinya, dan apa yang dipercaya membuat keduanya berposisi sejajar. Tetapi, Tuhan memanggilnya pelacur, dan memintanya agar bertobat. Bagaimana ini?”
kata dia.

Jeremy menduga Alkitab merupakan dalih gereja untuk tujuan tertentu. Merasa tak menerima logika yang dibangun Alkitab, ia memilih untuk mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Ia pelajari sejarah Perang Salib, termasuk manuver Paus saat membangun kekuatan dan kekuasaan di Eropa melalui Portugis dan Spanyol. Ia juga mempelajari pemerintahan teror ala Machiavelli.

“Dari apa yang saya baca, saya melihat upaya gereja menahan dan menolak kemajuan ilmu pengetahuan. Saya percaya Tuhan versi Alkitab adalah palsu, dirancang untuk membohongi banyak orang demi kekuasaan,”
ucapnya.

Dalam pemahaman Jeremy, Tuhan versi Alkitab adalah sosok yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Ia membutuhkan medium untuk berkomunikasi dengan ciptaan-Nya. Jadi, Jeremy sulit menerima logika ini.

Pemahaman itu kian menguat ketika ia banyak membaca fiksi ilmiah dan teori konspirasi primitif. Menurutnya, pemikiran Erich Von Daniken (Chariots of The Goods) dan Charles Berlitz dan William Moore (The Philadelphia Experiment) membuka pikirannya bahwa ada semacam konpirasi yang dilakukan kalangan elit dan pemerintah terhadap masyarakat awam.

Namun, tidak setiap negara dan pemerintahan terlibat dalam konspirasi besar. “Saya membutuhkan perbandingan guna mendapatkan kesimpulan yang pasti. Maka saya jadikan Hindu dan Buddha sebagai bahan perbandingan,” kata dia.

Jeremy mulai mempelajari Hindu. Ia ikuti ritual dalam agama tersebut seperti meditasi. Selama meditasi ia merasa tenang, tapi ketika bicara bagaimana dunia dan manusia tercipta, ia merasa aneh.

“Mereka bicara tentang kosmos, evolusi dan reinkarnasi. Jelas, saya segera meninggalkan agama ini,”
tuturnya.

Usai mendalami ajaran Hindu, ia eksplorasi ajaran Buddha. Dalam kepercayaan Buddha, Jeremy menyimpulkan, setiap manusia mencari pencerahan dan kebebasan dari siklus kelahiran dan kematian.

Pencerahan ini meniadakan ego. “Saya melihat agama ini lebih banyak bicara filsafat,” kata dia.

Jeremy menyimpulkan ajaran Budha seperti konsep dalam pemikiran Karl Marx. Menurut Marx, agama itu adalah candu bagi masyarakat. Karena sifat candu itu, mereka (umat beragama) dikendalikan oleh kelompok elit dalam masyarakat.

Merasa telah memahami ajaran Buddha, ia dalami Toteisme. Jeremy perlu melihat sistem kepercayaan kuno ini guna menarik benang merah dari proses beragama di dunia. Dalam Totemisme, semua hal memiliki penghubung.

Dalam buku James Lovelock, The Revenge of Gaia, disebutkan bahwa bumi adalah sosok yang harus dihormati, mampu membimbing dan melindungi manusia. Namun bagi Jeremy, bumi itu terlalu sempit. Sebab, di luar bumi terhadap langit yang begitu luas.

Guna mendapatkan esensi “penghuni” langit. Jeremy banyak membaca tentang astrologi. Melalui astrologi, ia berusaha memahami mengapa posisi benda langit akan menentukan nasib makhluk. “Untuk sementara, saya menjadi peramal amatir,” ujarnya sembari tersenyum.

Suatu ketika, Jeremy bertemu dengan seorang pria. Ia tak ingat siapa namanya. Yang pasti, pria itu berasal dari Irlandia, penganut Katolik Roma. Ketika bertemu dengannya, Jeremy tengah membaca buku karya Stewart Farrar, Omega. Sepanjang hari mereka berdua berbicara panjang lebar tentang konsep Tuhan.

Pria Irlandia itu setuju dengan pemahaman Jeremy soal kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Jeremy berpendapat segala isi alam memiliki sistemnya sendiri, tetapi ada satu hukum yang membuatnya berjalan seiring sejalan dan harmonis. Sebuah hukum semesta yang dikendalikan sosok yang berkuasa dan berkekuatan Mahadahsyat.

Di tahun pertama penikahannya dengan Anabela, perempuan Portugis penganut Katolik, Jeremy berteman dengan pria pecinta alam.

Suatu hari, Jeremy dan istrinya diajak pria itu mengunjungi tempat favoritnya. Jeremy dan istri sengaja membawa anak mereka, Andrei Micael guna menjalani pembaptisan.

“Saya tidak ingin anak saya dibaptis dengan air suci oleh pastor. Saya memilih untuk membaptisnya dengan air sungai, serupa dengan apa yang dialami Yohannes. Kala itu, ia dibaptis dengan air suci sungai Yordan,” ujarnya.

Dalam hatinya, Jeremy merasa aneh dengan konsep baptis. Sebab, ia meyakini bahwa setiap anak yang lahir ke dunia pada dasarnya tidak membawa dosa apa pun. Sebaliknya, orang dewasalah yang seharusnya dibaptis lantaran terlalu banyak melakukan perbuatan dosa.

Usai membaptis anaknya, Jeremy dan keluarga kecilnya kerap dikunjungi ibu mertua setiap musim panas. Seperti istrinya, ibu mertua Jeremy merupakan penganut Katolik Roma. Ia seorang yang antusias dengan konsep trinitas. Hal itu terlihat dari kalung salib yang sering ia gunakan. Sang ibu mertua juga rutin menyambangi tempat-tempat suci.

“Bagi saya, apa yang diperlihatkan ibu mertua adalah hal yang aneh dan menjijikkan. Ia masih saja menerapkan konsep primitif. Sudah jelas, Tuhan itu perkasa. Dari situ, saya bertekad membujuk ibu mertua untuk tidak lagi bertuhan pada sosok yang masih tergantung oleh mediator,”
ungkap Jeremy.

Pikiran Jeremy segera terbang menuju alam logika. Apa yang ditunjukkan ibu mertua, memicu dirinya untuk kembali mengasah kemampuan berpikirnya.“Saya selalu berpikir, bagaimana orang mati apakah masih bisa mendengar? Bagaimana kita tahu tingkat kesalahan mereka? Banyak pertanyaan dalam otak saya. Spontan saja, saya ambil Alkitab,” tuturnya.

Usai membaca Alkitab, Jeremy menyimpulkan, Tuhan membawa umat Yahudikeluar dari Mesir, melepaskan mereka dari perbudakan. Karena itulah, Tuhan melarang umat Yahudi untuk bertuhan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tidak bertuhan pada patung berhala atau mahkluk Tuhan yang hidup di langit dan bumi.

Menurut Jeremy, jika itu benar, maka akan banyak bukti bahwa Allah itu satu. Hanya Dia yang bisa mendengar setiap harapan dari umat manusia. “Saya semakin menyadari bahwa apa yang dikatakan Alkitab bertentangan dengan ajaran gereja. Jelas, Alkitab mengatakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu. Saya merasa takut, bahwa saya benar,” ujarnya.

Sejenak pemikiran kritis Jeremy teralihkan dengan persoalan keuangan keluarga. Semenjak putranya lahir. Kebutuhan terus meningkat. Celakanya, pendapatan Jeremy tak kunjung bertambah.

Pada periode inilah, ia mulai menerima cobaan dari Yang Mahakuasa. Cobaan itu sejatinya akan membawa Jeremy pada kekuatan Tuhan seperti apa yang ia yakini selama ini.

Jeremy mulai terjerat utang. Itu terjadi karena ia memutuskan keluar dari pekerjaannya di British Council dan sekolah bahasa di Braga. Alasannya, ia ingin fokus membesarkan putranya. Guna mengimplementasikan niatan itu, ia putuskan membeli rumah karena enggan menetap di apartemen sewa.

Ia sadar bahwa kondisi keuangannya tidak memungkinkan. Oleh sebab itu, ia nekad memijam uang di bank guna membeli rumah dan membuka bisnis kecil-kecilan sebagai guru les bahasa Inggris.

Perlahan tapi pasti, usahanya itu merangkak naik. Sedikit demi sedikit, utangnya berkurang. Tapi Jeremy merasa butuh pemasukan lebih besar. Oleh istrinya, ia disarankan untuk mencari pekerjaan di luar negeri.

Kebetulan, Anabela memiliki banyak kenalan suami teman-temannya yang mencari nafkah di luar negeri. “Saya melihat hanya itu peluang untuk hidup lebih baik,” kata Jeremy.

Suatu malam, Jeremy berlutut menghadap ke timur. Ia curahkan masalah yang ia hadapi kepada Sang Khalik. “Saya katakan pada-Nya, saya merasa putus asa. Saya merasa kesulitan memberi nafkah istri dan anak. Saya meminta pertolongan-Nya. Selama itulah, saya merasa nyaman, dan akhirnya terlelap dalam tidur,” kenangnya.

Keesokan hari, Jeremy menerima kejutan. Dalam kolom surat kabar hari itu, terdapat lowongan pekerjaan di tempat kerjanya yang lama. British Council membutuhkan tenaga untuk ditempatkan di luar negeri. Melihat iklan itu, Anabela menyarankan suaminya agar bekerja di Timur Tengah. Di kawasan itu, menurut pemikiran Anabel, suaminya bakal mendapatkan gaji relatif tinggi.

Awalnya, Jeremy memilih Taiwan. Sayang, ia gagal mendapatkan posisi itu. Dari pilihan yang ada, tersisa Universitas Arab Saudi. Tak disangka, Jeremy diterima untuk mengajar bahasa Inggris. “Segala puji bagi Allah. Ia menjawab doaku. Tapi itu barulah awal, karena Allah memberikan sesuatu yang lebih padaku,” tuturnya.

Jeremy akhirnya berangkat menuju Teluk. Oleh teman-temanya, ia diperingati bahwa di negara itu, Arab Saudi, ia tidak bebas melakukan apa pun.

Bahkan ada koleganya yang menasihati Jeremy agar mengurungkan niatnya itu. “Saya mencoba untuk tidak memikirkan apa yang dikatakan teman-teman. Saya hanya fokus memikirkan bagaimana beradaptasi dengan lingkungan baru,” paparnya.

Benar saja, apa yang diungkapkan teman-temanya itu tidak sesuai fakta. Tiba di bandara, ia disambut dengan hangat. Jeremy memberi poin khusus untuk sambutan ramah tersebut. Awalnya, Jeremy belum merasa tertarik untuk segera mencari tahu seperti apa budaya masyarakat Arab.

Perwakilan kampus segera menjemput dan membawanya. Namun, ia terlebih dahulu harus melalui pemeriksaan paspor dan mengisi formulir kedatangan. Lalu, ia dikirim ke kepala Departamen Bahasa Inggris. Ketika masuk ruangan, ia berhadapan dengan pria berjubah, layaknya pakaian yang dikenakan pria Saudi.

“Ia tidak terlihat seperti orang Arab. Ia pasti merasa tidak nyaman dengan tatapan mataku. Ternyata ia berasal dari Wales, tapi ia telah menjadi Muslim saat bekerja di Brunei, sebelum pindah ke Arab Saudi,” kata Jeremy.

Oleh pria itu, Jeremy diminta untuk beradaptasi selama lima hari sebelum ia resmi mengajar. Lalu, ia diantar menuju rumahnya. Selama perjalanan itu, ia teringat betul pertemuan dengan pria itu. Ingatan itu kembali mendorong Jeremy untuk kembali ke alam logika. Kemampuan berpikirnya kembali diuji.

Jeremy mulai menyadari bahwa Injil dan Taurat saling berhubungan. Tapi ia belum sepenuhnya membaca kitab lain, seperti Talmud, dan Al-Quran. Entah mengapa, ia merasa asing dengan kedua kitab itu. Terlebih, kedua kitab itu menggunakan bahasa berbeda dengan kitab yang pernah ia baca.

Tapi ia tidak menyerah, ia cari kedua kitab itu dalam terjemahan bahasa Inggris. “Saya menuju pusat kota untuk mencari terjemahan itu. Saya menuju bangunan bertingkat di kawasan Ha’il. Lalu saya menemukan bangunan bertingkat bernama Al-Bourj. Di bangunan itu, saya melihat semua toko ditutup pada sore hari,” tuturnya.

Gagal menemukan apa yang ia cari, Jeremy kembali untuk mencari kitab terjemahan itu. Sayang, tak satu pun dari mereka yang memiliki kitab terjemahan. Ia kembali menuju Al-Bourj, kali ini ia beruntung toko yang dicari tidak tutup. Yang membuatnya terkejut, pengunjung toko kebanyakan berasal dari Asia Tenggara dan Oseania.

Namun, Jeremy tetap saja tidak dapat menemukan buku dicari. Merasa frustasi, ia keluar sejenak dari toko. Di luar toko buku, Jeremy melihat ada anak tangga. Ia bermaksud mencari tempat membaca. Kemudian, ia bertemu dengan petugas polisi.

Oleh polisi itu, Jeremy diarahkan ke sebuah ruangan baca. Memasuki ruangan itu, Jeremy melihat rak berisi buku usang. “Saya merasa putus asa dengan apa yang saya alami. Saya sulit menemukan buku dalam bahasa Inggris,”kenangnya.

Beruntung, ada salah seorang staf British Council yang menemukannya. Jeremy lalu meminta bantuan staf itu untuk membimbingnya menemukan buku yang ia cari. Selang beberapa saat, pria berjanggut datang menghampiri Jeremy. “Saya menyapanya, dengan mengatakan saya ingin membaca Al-Quran,” kata Jeremy, yang selanjutnya terlibat diskusi dengan pria tersebut.

Pria berjanggut itu membawa buku tebal dengan sampul mengilap. Pria itu lalu mengatakan pada Jeremy bahwa buku ini bukan terjemahan, melainkan penjelasan dari setiap ayat Al-Quran dalam bahasa Inggris.

“Saya kembali bingung. Saya mengulangi permintaan sebelumnya. Saya ingin terjemahan. Tapi ia ngotot bahwa itu adalah terjemahan,”
kata Jeremy. Akhirnya, ia menerima buku itu, meski sedikit jengkel.

Jeremy merasa pria tersebut tidak peka dengan apa yang tengah dialaminya. Pria itu selalu saja bertanya kepadanya soal alasan di balik keinginan membaca Al-Quran.

Pria tersebut lantas meminta Jeremy agar tidak meletakkan Al-Quran di atas lantai atau kursi. Dilarang pula, menduduki atau menginjak Al-Quran. Larangan lain, jangan membaca Al-Quran di lokasi tidak suci, seperti kamar mandi.

Pria itu juga segera memberi syarat tambahan, yakni selepas membaca Al-Quran diharapkan agar ditaruh kembali di atas rak. Serta tidak membiarkan Al-Quran terbuka dalam kondisi terbalik. “Kenapa begitu?” tanya Jeremy.

Pria itu menjelaskan, Al-Quran berisi firman yang Mahakuasa, jadi seharusnya menghadap ke atas bukan ke bawah. Selepas dibaca, sebaiknya halaman terakhir jangan pula dilipat melainkan diberikan pembatas. Jeremy pun menerima syarat yang diajukan.

Setelah berkutat dengan pria itu, Jeremy mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia tak sabar untuk segera pulang ke rumah dan membacanya. Sayang, masa adaptasi segera berakhir. Disamping itu, di Arab Saudi, Kamis dan Jumat adalah hari libur.

Tapi itu tidak masalah buatnya. Sepekan berikutnya, ia kembali meminjam Al-Quran dan membacanya. Entah mengapa, Jeremy merasa membaca intisari Injil dan Taurat. Padahal bukan kedua kitab itu yang ia baca.

“Hal yang menarik dalam Al-Quran, tidak ada sebutan “Nabi Berkata” atau“Kata Allah Subhanahu Wa Ta’ala”. Jadi, saya merasa seperti membaca apa yang disampaikan Tuhan kepadaku,” ucapnya.

Segera saja Jeremy menangis. Hatinya merasa pilu, sakit dan takut. Ia melihat dirinya, keluarganya, dan teman-temannya mencerminkan sikap orang kafir, munafik dan musyrik. “Saya baca Surah Al-Baqarah (2), Ali-Imran (3), An-Nisa (4), Al-Ma’idah (5) dan Al-An’am (6), tiba di bagian akhir, saya melihat isinya padat dan ringkas,” tuturnya.

Tiba-tiba, pada satu surah, yakni Al-Ikhlas yang berbunyi, “Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Jeremy sangat terkejut.

Namun, ia mempertanyakan apakah memang benar, umat Islam benar-benar percaya Tuhan itu Esa. Jika benar, berarti ia telah mengabaikan masalah ini.“Saya terus bertanya-tanya. Saya harus mengkonfirmasi masalah ini dengan temanku yang Muslim,” ujarnya.

Lalu, Jeremy pun berdialog dengan temannya yang bernama Ismail Rostron—mualaf kulit putih—dan Jamal, Muslim asal Pakistan.

Jeremy tak berhenti takjub dengan apa yang ia alami. Namun, dalam hatinya ia sudah mantap memeluk Islam.

Akan tetapi, ada tiga hal penting yang harus diselesaikan. “Istri saya tentu harus menerima agama ini, lalu ia setuju meninggalkan pekerjaannya dan tinggal bersama saya di Saudi,” kata Jeremy.

Dengan kata lain, Jeremy sebenarnya sudah mantap dengan apa yang ia simpulkan. Hanya saja, ia tidak mau meninggalkan masalah apa pun. Mulailah ia mengajak bicara istrinya. Ia berusaha menjelaskan semuanya tanpa berlebihan.

Anabela terkejut bukan kepalang ketika mengetahui apa yang telah diputuskan suaminya. “Sepertinya kau telah berpindah agama,” kata Anabela dalam surat elektronik yang dikirimkan kepada Jeremy.

Dalam surat balasannya, Jeremy mengaku telah memutuskan untuk memeluk Islam. Anabela sempat kesal lantaran Jeremy tidak berkonsultasi dengannya. Namun, Jeremy meyakinkan sang istri bahwa dirinya belum menjadi Muslim.

“Tapi hati saya telah mejadi Muslim,” ungkap Jeremy. “Saya sempat merasa ragu dengan hal ini, tapi masalah itu sempat lenyap sementara saat Natal tiba.”

Berpaling sejenak dari persoalan dengan istrinya, Jeremy tergerak untuk melihat bagaimana seorang Muslim melaksanakan shalat. Saat itu, ia tengah berjalan-jalan di pusat kota. Spontan saja, ia membeli pakaian tradisional Timur Tengah. Ia kenakan baju itu, lalu ia mengikuti ummat Muslim yang berjalan mengikut asal suara adzan.

Sepanjang jalan, Jeremy sedikit gelisah. Ia berhenti sejenak. Rupanya, shalat sudah dimulai. Ia lihat seluruh orang mengangkat tangannya lalu melipatnya di atas dada mereka. Berada pada barisan belakang, Jeremy langsung saja memasuki shaf yang masih kosong. Ia tiru setiap gerakan shalat.

Selesai shalat, Jeremy dihampiri dua anak-anak. Mereka menyapa Jeremy,“Anda Muslim?”

Mendengar sapaan anak-anak itu, Jeremy gelisah. Tapi dengan tenang ia balas sapaan itu. Tanpa diduga, anak-anak itu memberitahunya bagaimana gerakan shalat yang benar. Mereka mengarahkan bagaimana seharusnya ia bersujud dan rukuk. “Anak-anak itu segera menarik tanganku, entah saya mau dibawa kemana,” kenang Jeremy.

Tak lama, ia sampai di sebuah rumah. Di dalamnya, terdapat remaja berusia 15-16 tahun. Ia lalu menyapa Jeremy. Lantaran tidak mengerti apa yang diucapkannya, Jeremy hanya mengangguk. Remaja itu beranjak dari tempat duduknya, lalu memasuki ruangan lain. Lima menit kemudian, ia sajikan secangkir kecil kopi Arab. Jeremy dan remaja itu lalu terlibat perbincangan.

Remaja itu hanya bisa membalas pertanyaan Jeremy dengan bahasa isyarat. Dari isyarat itu, Jeremy mengartikan bahwa ia harus menunggu. Tak lama berselang, datang seorang pria dewasa. Dia tampak terkejut ketika melihat saudaranya bersama Jeremy.

Amerika?”
tanya Pria itu.

“Tidak, Saya Inggris,” jawab Jeremy.

“Selamat datang,”
sapa pria itu. Lalu pria itu mengucapkan “Tawadha!”, yang artinya ambil wudhu. Ia ingin Jeremy bersiap-siap menuju masjid guna melaksanakan shalat Isya. Seperti sebelumnya, Jeremy meniru setiap gerakannya.

Kian mantap Jeremy memeluk Islam. Ia datangi kantor Perkembangan Dakwah Islam. Kepada mereka, Jeremy mencari informasi resmi terkait perpindahan agama.

Beberapa langkah memasuki kantor itu, Jeremy begitu terkejut ketika begitu banyak warga Eropa. Duduk sejenak, ia disapa pria India bernama Syekh Farooq. “Ada yang biasa saya bantu?” tanya si syekh.

Mendengar suara Farooq yang lembut, Jeremy begitu lega. Sebab, ia merasa gelisah sedari awal sebelum memasuki gedung. Namun, ternyata prosesnya tidak semudah yang dibayangkan. Oleh Farooq, ia diminta mengikuti sejumlah pelatihan sebelum menjadi Muslim.

Saat itu, tak hanya Jeremy saja yang mendatangi kantor tersebut. Ada dua orang lain. Yang pertama berasal dari Filipina, namanya Daud. Ia seorangKristen yang bekerja di apartemen tempat Jeremy tinggal. Yang kedua, John. Ia menjadi Muslim karena istrinya seorang Muslim. Keduanya merupakan teman dekat Jeremy.

Ketiganya akhirya dimasukkan dalam program yang sama. Mereka dibimbing oleh dua orang Muslim yang bernama Syekh Ehad atau Abu Abdurrahman dan Syekh Farooq. Keduanya menjelaskan Islam dengan rinci dan sederhana.“Mereka mengatakan Islam adalah agama monoteisme. Menjadi Muslim merupakan langkah besar dalam hidup kalian,” kata Jeremy menirukan dua pembimbingnya.

Dari setiap penjelasan yang diberikan, kata Jeremy, ada satu hal yang menarik perhatian, yakni setiap Muslim di mata Allah itu sama, yang membedakan adalah kualitas iman dan takwa.

Selain itu, setiap Muslim mungkin saja masuk neraka apabila melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Pertanyaannya, manusia tidak pernah tahu kapan waktu kematiannya. “Saya langsung terdiam. Menurut pembimbing, karena itulah setiap Muslim harus berbuat baik,” kata Jeremy.

Tak lama kemudian terucaplah kalimat syahadat, “Asyhadu an laa ilaha illa Allah, wa asyhadu ana Muhammad nabiyyan wa rasulullah.” Jeremy resmi menjadi Muslim. Selanjutnya, salah seorang pembimbing meminta Jeremy mengganti nama.

“Nama apa yang anda inginkan. Sekarang anda telah menjadi Muslim. Anda seperti bayi yang baru lahir,”
kata Jeremy menirukan ucapan pembimbingnya. Jeremy sempat bingung. Sebab, ia tidak pernah berpikir mengganti namanya.

Sore hari, tepatnya pukul empat sore, ia bersama pembimbing lainnya, Yusuf, belajar cara berwudhu. Ia tunjukkan kepada Jeremy bagaimana berwudhu yang baik. Ia memastikan tidak ada kesalahan urutan dan gerakan. “Ketika anda shalat, anda harus bebas dari lapar atau haus atau keinginan buang air kecil,”pesan Yusuf kepada Jeremy.

Namun, Jeremy spontan saja membersihkan diri. Ia ingin melaksanakan shalat Mahgrib dengan kondisi tubuh bersih. Ia mengingat apa yang dilakukan seperti proses pembaptisan Yohanes.

“Sebenarnya jauh berbeda. Dalam Islam ada urutan yang harus dipenuhi. Pertama yang dilakukan membersihkan bagian pribadi. Lalu lakukan wudhu. Selanjutnya, basuh tubuh dengan air dimulai dari kanan, selanjutnya kepala,”tuturnya.

Selesai mandi dan berwudhu, pembimbingnya kembali memanggil. Ia memberitahu Jeremy untuk melaksanakan shalat yang pertama kali, sebenarnya yang kedua bagi Jeremy. Ia menghadap kiblat, lalu kedua tangan ke atas lalu melipatnya di dada. Lalu membungkukkan badan, sujud dan duduk di antara dua kaki. “Saya merasakan kualitas spiritual yang luar biasa. Alhamdulillah,” ucap Jeremy penuh syukur.

Silahkan isi komentar facebook