Pages

Saturday 4 August 2012

Ketakutannya pada Kematian, Mengenalkannya pada Islam

REPUBLIKA.CO.ID, ATHENA – Janna barangkali tak pernah menyangka, liburannya bersama keluarga ke Uni Emirat Arab (UAE) sekitar 13 tahun lalu menjadi sesuatu yang cukup berkesan dalam hidupnya.

Ia seorang Yunani yang dibesarkan di lingkungan keluarga dengan tradisi Yunani Ortodoks yang sangat kental. Gadis kelahiran Jerman ini selalu pergi bersama keluarga besarnya untuk menghabiskan waktu liburan. “Waktu umurku sekitar 13 tahun, kami berkeliling UAE,” tuturnya.

Ketika itu hari Jumat. Janna benar-benar sangat terkesan mendengar suara azan. Semua orang yang sedang berada di pasar tiba-tiba saja menghentikan seluruh aktivitasnya. Mereka mengambil karpet, memenuhi jalan untuk shalat. “Saya benar-benar ingin tahu apa sebenarnya maksud suara panggilan itu,” ujarnya.

Ia sama sekali tak mengerti tentang azan. Namun, suatu ketika, suara itu mengubah jalan hidupnya.

Phobia Kematian
Janna termasuk seorang yang unik. Ia mengalami phobia kematian. Ia akan berusaha secepat mungkin menghindari obrolan tentang kematian. Ia juga belum pernah menghadiri pemakaman.

Semuanya tiba-tiba berubah saat melihat sang paman meninggal dunia tepat di hadapannya. “Saya berpikir, ternyata kita banyak menghabiskan waktu untuk sesuatu yang bisa saja hilang dalam hitungan detik,” katanya.

Setelah melihat kematian sang paman, ia mengalami kesulitan tidur. Semalaman, ia terbangun hingga tiga kali, memastikan ayah dan ibunya masih bernafas di malam itu.

Ketakutannya terhadap kematian membuatnya mulai meneliti tentang Islam. “Sebelumnya, saya pernah meneliti agama lain. Tapi belum menemukan susuatu yang meyakinkan,” ungkapnya.

Saat mulai membaca tentang Islam, ia menemukan jawaban yang tak dapat ia temukan pada agamanya sendiri. Keyakinannya tumbuh kala membaca sirah (biografi) Rasulullah. “Saya melihat Nabi Muhammad sebagai orang mulia dengan karakter yang luar biasa,” katanya.

Setelah membaca sirah nabi, ia sadar harus menghapus segala sesuatu yang ia ketahui tentang Islam. Dan merasa harus belajar lagi dari nol, karena fakta-fakta tentang Islam yang ia ketahui selama ini, tak semuanya benar. Ia mulai menyadari Islam sebagai sebuah kebenaran.

Meskipun sudah yakin, Janna masih takut untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia masih memikirkan bagaimana respon orang tuanya. Ia yakin keluarganya pasti takkan bisa menerima jika ia menjadi seorang Muslim. Dan hidupnya pasti akan berubah secara dramatis.

Setelah sempat galau, Allah mempertemukan Janna dengan seorang mahasiswa Jerman asal Mesir, bernama Noha. Bagi Janna, pertemuan dengan Noha sangat membantunya meyakinkan diri tentang keimanan yang sedang dirasakan. “Saya mendapatkan keberanian yang lebih untuk meyakinkan apa yang sedang saya lakukan. Dia (Noha) banyak membantu,” kata Janna.

Noha mulai menjelaskan segala sesuatu tentang Islam. Sekitar satu setengah bulan kemudian, Janna pun bersyahadat. “Alhamdulillah, saya bersyahadat di hadapan sekitar 20 saksi. Saya takkan pernah melupakan syahadat dan shalat saya yang pertama,” ujarnya. [republika]

Wednesday 1 August 2012

Mustafa Davis: Memeluk Islam Setelah Membaca Surah Maryam

REPUBLIKA.CO.ID, Mustafa Davis lahir dan dibesarkan di wilayah teluk di Kalifornia Utara. Ia kini dikenal sebagai pembuat film dan seniman dunia. Sebagai seniman, Davis mencintai keindahan. Dan keindahan paling indah di matanya adalah senyum seorang pria sederhana yang tulus, yang membawanya pada Islam 16 tahun lalu.
Semua berawal pada suatu Rabu di bulan Mei 1996, Davis bertemu dengan seorang teman dalam perjalanannya menuju kampus. Belakangan Davis tahu ia dan pria bernama Whitney Canon itu belajar dalam kelas bahasa Prancis yang sama. Lalu, mengetahui bahwa Whitney adalah seorang seniman dan musisi sepertinya, Davis kerap menghabiskan waktu bersamanya setelah itu, terutama di ruang piano di aula musik kampusnya.
Selama satu semester, dengan cara menyelinap, ia dan Whitney menghabiskan waktu di ruangan itu, lalu bermain musik atau berbincang tentang persoalan kerohanian di sana. Pada suatu Rabu di tahun yang sama, bersama salah seorang temannya, Whitney Canon (kini Muslim), Davis sedang menyantap sushi di sebuah restoran Jepang dekat kampus. Dalam kesempatan itu, Davis menyampaikan sebuah pengakuan bahwa dirinya lelah dengan kehidupan yang dijalaninya.
“Aku ingin mengembalikan hidupku pada jalurnya,” tulisnya dalam sebuah note dalam akun Facebook-nya, Becoming Muslim in America (dipublikasikan kembali oleh isamicsunrays.com dalam artikel berjudul Becoming Muslim: Five Words That Changed My Life). Menurut Davis, gaya hidupnya kala itu menjauhkannya dari kesuksesan, dan hanya agama yang mungkin mengubah hidupnya. “Aku harus kembali ke gereja,” ujar mantan pemeluk Katolik ini.
***
Tiba-tiba Whitney bertanya apakah dirinya pernah berpikir tentang Islam. Davis menjawab “tidak” dan mengatakan pada Whitney bahwa Islam adalah agama Arab atau gerakan separatis bangsa kulit hitam. Dari banyak informasi dan peristiwa, Davis hanya memiliki stigma negatif tentang agama itu dalam otaknya. “Selain itu, aku belum pernah melihat Muslim yang baik dan taat waktu itu,” katanya.
Mendapati respons negatif dari Davis, Whitney kemudian bercerita tentang kakak laki-lakinya yang masuk Islam. Dari kakaknya, Whitney (yang saat itu belum menjadi Muslim) mengatakan bahwa Islam bukan hanya untuk Arab serta merupakan agama yang universal. Whitney lalu melontarkan pertanyaan baru pada Davis, “Apakah kamu mengetahui Muhammad?”
Davis mengaku hanya mengetahui satu orang dengan nama Muhammad, yakni Elijah Muhammad (salah satu pemimpin utama di Nation of Islam). Whitney lalu menjelaskan hanya ada seorang pria bernama Muhammad yang merupakan nabi asal Arab yang sesungguhnya. “Kau harus mengenalnya,” kata Whitney.
Mendengar kata “Arab,” Davis tak tertarik untuk masuk ke dalam perbincangan yang lebih jauh tentang Islam. Ia kemudian mengakhiri perbincangan itu dan beranjak menuju tempat kerjanya, karena Davis bekerja pada malam hari.
Pulang dari tempat kerjanya, Davis singgah ke sebuah toko buku untuk membeli Bibel. Saat melewati deretan rak bertema “Filosofi Timur,” pandangan Davis tiba-tiba tertuju pada sebuah buku berwarna hijau. Nama “MUHAMMAD” tertulis dengan huruf timbul berwarna emas di sampulnya. “Aku menghentikan langkahku, berpikir sejenak, dan mengambil buku itu dari rak,” katanya.
Rasa ingin tahu Davis tergugah saat membaca judul kecil di bawah tulisan MUHAMMAD; Kehidupannya berdasarkan Sumber Paling Awal. “Kata “sumber paling awal” menggelitikku karena aku sangat mengetahui adanya debat teologis tentang sejumlah kesalahan yang ditemukan dalam Bibel. Fakta itu menggangguku,” kata pendiri Cinemotion Media dan Mustava Davis Incorporation ini.
Davis membuka buku itu dan dengan susah payah mencoba membaca banyak kata dalam ejaan Arab. “Empat atau lima kalimat yang kubaca menyebut kata “Alquran” beberapa kali,” katanya. Ejaan-ejaan Arab yang menyulitkan itu lalu dirasanya membenarkan pemahamannya bahwa Islam adalah agama orang Arab. Maka Davis mengembalikan buku itu ke rak.
***
Saat beranjak meninggalkannya, tulisan emas di sampul buku itu kembali menarik pandangan Davis sehingga ia kembali melihat ke arah buku tersebut. Saat itu, ia melihat sebuah buku lain berjudul The Quran, dan teringat pada beberapa kata yang baru ia baca dalam buku berjudul Muhammad.
Setelah mengambil dan membukanya secara acak, Davis berhadapan dengan halaman pertama Surah Maryam. “Aku membaca surah itu dari awal hingga akhir dan merasakan tubuhku menggigil saat membaca penjelasan detail tentang kelahiran Nabi Yesus (Isa as) yang menakjubkan,” ujarnya.
“Aku tak menyangka bahwa Muslim mempercayai kelahiran yang menakjubkan itu, dan bahwa mereka tak mempercayai Yesus sebagai anak Tuhan. Sebagai seorang Kristen, aku tak pernah bisa menerima pernyataan bahwa Tuhan mempunyai anak,” tambahnya. Davis menangis dengan terjemahan Alquran di tangannya. Ia memutuskan membeli kitab itu, lupa dengan tujuannya membeli Bibel, dan meninggalkan toko buku itu.
***
Keesokannya, Kamis pagi, saat berjalan menuju kampusnya, Davis melewati stan kecil milik seorang pria Senegal yang menjual kerajinan, dompet, dan boneka Afrika. Ia sibuk dengan seorang pembeli saat Davis menghampiri stannya dan melihat-lihat sebuah dompet. Ketika pelanggannya itu pergi, pria kulit hitam itu menghampiri Davis sambil tersenyum ramah.
“Senyumnya itu adalah sesuatu yang tidak pernah kutemukan sebelumnya. Aku hanya bisa menggambarkan bahwa senyum itu penuh dengan cahaya dan cinta,” Davis menulis dengan penuh ketakjuban.
Pria bernama Khadim itu menyapa Davis, “Hai, saudaraku, apa kabar?” dan melanjutkan dengan sebuah pertanyaan lain setelah Davis menjawabnya, “Saudaraku, apakah kamu seorang Muslim? Kamu terlihat seperti seorang Muslim.”
Belum habis kekagumannya dengan senyum Khadim, Davis dibuat terkejut dengan pertanyaan itu. Ia menjawab bahwa dirinya bukan seorang Muslim, namun baru membeli Alquran pada malam sebelum mereka bertemu. Senyum Khadim berkembang. Ia menghampiri Davis dan memberinya pelukan sambil terus berkata, “Ini sangat indah, saudaraku. Ini hebat. Aku bahagia untukmu. Ini adalah pertanda dari Allah. Kamu membuatku sangat bahagia, saudaraku.”
***
Ketakjuban Davis belum berakhir. Saat memasuki waktu Zuhur, Khadim meminta bantuannya untuk menjaga stan miliknya selama ia shalat. Davis bersedia dan melewatkan dua kelas hari itu. “Aku belum pernah menemukan orang setulus dia, yang tersenyum padaku, memelukku, dan mengatakan dirinya berbahagia untukku.”
Saat bersama Khadim itulah, seorang mahasiswa Pakistan menghampiri dan menyapa pria Senegal itu. Seperti Khadim, ia mengira Davis seorang Muslim, dan gembira saat mendengar Davis telah membaca Alquran. Ia lalu menawari menawarkan dirinya untuk menemani Davis melihat-lihat masjid. Dan Davis menerima tawarannya.
Keesokan harinya, mahasiswa itu menjemput Davis dan membawanya ke sebuah masjid milik Asosiasi Komunitas Muslim di Santa Clara Kalifornia setelah terlebih dulu ia mengajak Davis makan siang di rumahnya. Saat tiba di masjid, Davis disambut sekitar 40 pria yang menyapanya sambil tersenyum.
Setelah duduk dan bergabung dengan pria-pria tersebut, Davis ditanya apakah ia mengetahui sesuatu tentang Islam. Ia menceritakan Alquran yang dibelinya dan menyampaikan hal-hal tentang Islam yang diketahuinya melalui kitab tersebut. “Lalu seorang di antara mereka bertanya apakah aku mempercayai Nabi Muhammad dan tanpa ragu kujawab ‘Ya.’ Aku ditanya apakah aku percaya bahwa Yesus adalah Tuhan atau anak Tuhan, kujawab ‘Tidak’.”
Ia lalu menjelaskan banyak hal tentang Islam pada Davis; malaikat, kitab-kitab Allah, hari penghakiman (yaumul hisab), dan banyak lainnya. Setelah memberikan penjelasan itu, ia bertanya apakah Davis mempercayai semua itu. Davis kembali menjawab “Ya,” lalu pria itu berkata, “Itu adalah apa yang dipercayai oleh Muslim dan kamu mempercayainya. Maka apakah kamu ingin menjadi seorang Muslim?”
Davis kembali menjawab ‘Ya’ tanpa keraguan sedikitpun. Pria itu lalu membimbingnya membaca syahadat. “Aku ingat, hari itu tanggal 17 Ramadhan 1416 H,” ujarnya. [republika]

Yusuf Islam: Kebenaran Itu Butuh Pengorbanan

REPUBLIKA.CO.ID, THORNBURY — Dalam kehidupan, seorang manusia harus berani menjangkau dan mengambil resiko untuk mendapatkan kebenaran. Tanpa hal itu, sulit untuk menemukan kebenaran hakiki seperti yang diharapkan.

Demikian diungkap musisi Yusuf Islam dalam peluncuran film dokumenter dan buku berjudul ‘Dataran Tanpa Batas: Muslim Australia’ di Thornbury, Australia. “Untuk mengetahui apa yang ingin kita lakukan, Anda harus menghindari zona nyaman,” kata dia seperti dikutip northcote-leader.co.au, Selasa (8/5).

“Seorang manusia dalam mencari kebenaran, juga harus meninggalkan apa yang dimiliki saat ini,” tambah musisi 63 tahun itu.

Dalam kesempatan itu, Yusuf Islam juga melontarkan pujian terkait keberadaan museum Islam pertama di Australia. Menurut Yusuf Islam, museum itu akan membantu mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang Islam dan Muslim di Australia.

“Agama ada untuk kita pahami, dan tidak ada sudut di tempat kita tinggal,” kata musisi asal Inggris itu.

Yusuf Islam adalah nama panggung dari Stephen Demetre Georgiou. Musisi kelahiran London, Inggris, 21 Juli 1948 itu lalu menganti namanya menjadi Cat Stevens hingga 1980-an. Sebagai Cat Stevens, ia berhasil menjual 40 juta album, kebanyakan pada tahun 1960-an dan 1970-an. Lagu-lagunya yang paling populer termasuk ‘Morning Has Broken’, ‘Peace Train’, ‘Moonshadow’, ‘Wild World’, ‘Father and Son’, ‘Matthew and Son’, dan ‘Oh Very Young’.

Stevens menjadi seorang mualaf dan memeluk agama Islam pada 1978 silam setelah mengalami mati suri. Setelah hijrah, ia mengganti namanya menjadi Yusuf Islam dan menjadi seorang pendakwah lewat dunia musik. [republika]

Abdullah Rolle: Mengenal Islam, ketika Amerika menginvasi Irak

REPUBLIKA.CO.ID, Abdullah Rolle membetot perhatian umat Islam di berbagai negara lewat album nasyid yang diluncurkannya. Pada 2010 lalu, ia sukses merilis album berjudul The Journey.

Dua tahun sebelumnya, album nasyid yang pada tahun 2010 silam. Sebelumnya, pada tahun 2008, album nasidnya yang bertajuk Patience juga laris di pasaran.

Berbagai pentas sudah dilaluinya. Ia telah tampil di sejumlah negara, seperti di Eropa, Kanada, Afrika Selatan, Kuwait, Qatar, dan India. Abdullah juga sering muncul di stasiun televisi besar seperti Al-Jazeera, Peace TV, Islam Channel, S-Channel, dan Iqra.

Selain fokus menyiarkan dakwah Islamiyah lewat nasyid, Rolle pun serius mengelola studio, menjadi produser, mengerjakan jingle dan memberikan materi untuk beragama program acara. Di balik pencapaiannya yang begitu cemerlang, Abdullah Rolle ternyata adalah seorang mualaf.

Ia terlahir dari keluarga Kristen. Rolle mengaku mengenal Tuhan dari ibunya. Sang ibu selalu menceritakan kepada tentang Tuhan, tapi tidak pernah benar-benar mengajarkan tentang ketuhanan. Dia menjalankan kegiatan ibadah di gereja tanpa mempertanyakan apapun. Rolle memeluk Kristen karena memang dilahirkan dari keluarga Kristen.

Bakat musiknya sudah tumbuh sejak kecil. Di usia dini, ia belajar piano dari sang kakak. Dia belajar musik di London dan selalu datang di workshop musik untuk mendapatkan ilmu dan kesempatan guna menunjukan bakat bermusiknya. Sampai pada umur 17 tahun, dia masih berkutat dengan berbagai alat musik.

Ketika banyak orang menganggap suaranya enak untuk didengar, Rolle mulai percaya diri untuk bernyanyi. ‘’Suatu hari saya datang di sebuah workshop, saya ambil mikrofon, lalu saya menyanyi. Ternyata banyak yang menyukai suara saya. Pada saat itulah saya mulai bernyani,’’ ujarnya seperti dikutip laman www.islamonline.net.

Dia menghabiskan waktu selama tiga tahun untuk belajar olah vokal. Lama-kelamaan bakat musiknya mulai terasah. Hingga kini, Rolle telah mendedikasikan dirinya dalam bidang musik selama 20 tahun. Pada tahun 1980-an sampai 1990-an, dia banyak berkeliling ke London, New York, Los Angeles, dan Toronto untuk menjalin kerja sama dengan perusahan rekaman besar dan artis-artis terkenal.

Salah satunya bekerja sama dengan Run DMC, salah satu grup musik hip-hop dari Amerika. Pada tahun 2001, MTV sempat menobatkan Run DMC sebagai grup musik hip-hop terbesar sepanjang masa.

Setelah berkeliling ke berbagai benua, mencari uang dan ketenaran, pada 2002, Abdullah kembali ke London dan membuat perusahan rekamannya sendiri. Dengan perusahaannya itu dia mencoba bekerja dengan berbagai kelompok masyarakat, terutama anak-anak muda. Ketika itu, Kristen masih menjadi agama yang dianutnya.

Hidayah
‘’Hingga suatu saat ketika saya akan pergi ke studio ada seorang Muslim yang mendekati saya dan mengajak berbicara soal Muhammad dan Allah,” ujarnya dalam sebuah sesi wawancara dalam acara The Deen Show. Pada awalnya dia tertarik untuk mendengarkan penjelasan dari seorang Muslim yang tidak diketahui asalnya itu.

Namun, karena harus mengejar waktu rekaman, dia terpaksa meninggalkannya. Saat itu, Rolle tak terlalu memperhatikan pembicaraan tersebut. Namun, seiring waktu, pesan-pesan tentang Allah dan Rasulullah SAW itu selalu terngiang-ngiang dalam ingatannya.

Ketika pindah ke London bagian timur bersama keluarganya, Rolle sering mengunjungi toko buku bernama ‘’Dar Assalam’’ di daerah West End. Toko itu bisa memuaskan keingintahuannya. Melalui buku-buku pula, Rolee mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia ini serta konspirasi-konspirasi yang terjadi.

Beberapa kali pengelola toko buku itu memberikannya booklet tentang Islam. Setipa mendapatkannya, Rolle tak pernah membacanya. Ia hanya menaruhnya di dalam laci. Ia akhirnya tergerak untuk mengenal Islam, ketika Amerika menginvasi Irak.

Rolle mengaku mulai menaruh simpati pada umat Islam. Dia melihat bahwa dunia seringkali menyerang Islam dan Muslim. Tak hanya itu, media-media Barat juga kerap kali menuding Islam sebagai sumber teroris. Ia pun mulai mencari jawaban mengapa Islam selalu disudutkan.

Beragam pertanyaan soal Islam mulai bermunculan dalam pikirannya. Pembicaraannya dengan seorang Muslim ketika akan bertolak ke studio rekaman muncul kembali. Jiwanya mulai mencari-cari jawab atas pertanyaannya. Lagi-lagi Abdullah pergi ke toko buku langganannya itu.

Kali itu anaknya ikut bersamanya. ‘’Saya ingin mendapatkan sesuatau untuk jiwa saya. Buku-buku ini tidak banyak membantu,’’ ujarnya kepada anaknya. Lalu sang anak menunjuk sebuah DVD berjudul What is The Purpose of Life yang dibuat oleh Khaled Yaseen.

Tertarik dengan DVD itu, dia meminta kepada pengelola toko buku untuk memberikan volume ke 2 dan setelahnya. Namun tidak diberikan. Pengelola toko itu menyarankan untuk memahami dahulu apa yang adalah volume pertama itu.

Sekembalinya di rumah, dia merasa harus mempersiapkan diri sebelum menonton DVD itu. Mental dan fisiknya kemudian disiapkan. Ia lalu memutar kepingan DVD itu. Jiwanya merespons perkataan Khaled Yaseen tentang Islam sebagai sesuatu yang benar. Yakni tentang konsep Tuhan yang satu, Allah SWT.

Logikanya mulai menerima setiap pesan-pesan yang disampaikan, hingga bagian tentang shalat lima waktu. Saat itu dia berhenti. Dia merasa dengan kegiatannya di studio rekaman yang bertumpuk, tak mungkin untuk menunaikan shalat. Namun, hati kecilnya tak dapat berbohong. Rolle benar-benar kepincut dengan Islam.

Ia ingin menjadi seorang Muslim. Namun, saat itu, kewajiban shalat lima waktu masih mengganjalnya. Pertarungan sengit dalam dirinya berulang kali terjadi. Shalat berarti harus mau belajar bahasa Arab dan menyisihkan waktu untuk melakukannya lima kali dalam sehari.

Selama dua minggu dia bertarung dengan dirinya soal tiang agama Islam itu. Sampai istrinya datang dan membawa DVD berjudul One Islam dari Syekh Fiez. DVD itu bercerita tentang kekuasaan Allah, kematian, dan hari akhir. Tidak ada satupun manusia yang bisa memprediksikan kematian. Bisa saja dalam beberapa detik ke depan seorang manusia meninggal. [republika]

Silahkan isi komentar facebook